Misteri Islamisasi Jawa (3)
Siapa Syekh Siti Jenar ?
Kalau seseorang menulis buku, tentu para pembaca berusaha untuk mengenal jatidiri penuils tersebut, mininal bidang kellmuannya. Oleh karena itu isi buku dapat dijadikan tolok ukur tentang kadar keilmuan dan identitas penulisnya. Kalau ternyata buku itu berwama kuning, penulisnya juga berwama kuning. Sedikit sekali terjadi seorang yang berfaham atheis dapat menulis buku yang bersifat relijius karena dua hal itu sangat bertentangan. Seorang sarjana pertanian dapat saja menulis buku tentang sosiologi, karena antara pertanian dan sosiologi sering bersinggungan. Jadi tidak mustahil kalau Isi sebuah buku tentu telah digambarkan secara singkat oleh judulnya. Buku tentang Bertemak Kambing Ettawa menerangkan seluk-beluk binatang tersebut, manfaatnya, jenis pakan, dan sebagainya yang mempunyai kaitan erat dengan kambing Ettawa. Judul buku karya Dr Abdul Munir Mulkhan ini adalah: Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar. Pembaca tentu sudah membayangkan akan memperoleh informasi tentang kedua hal itu, yaitu ajaran Syekh Siti Jenar dan bagaiamana dia mati. Penulis buku juga setia dengan ketentuan seperti itu.
Bertitik-tolak dari ketentuan umum itu, paragraf 3 sampai dengan 6 Bab Satu tidak relevan. Bab Satu diberi judul: Melongok Jalan Sufi: Humanisasi Islam Bagi Semua. Mungkin penulis ingin mengaktualisasikan ajaran Syekh Siti Jenar dengan situasi kini, tetapi apa yang ditulls tidak mengena sama sekali. Bahkan di dalam paragraf 3-6 itu banyak pemyataan (statements) yang mencengangkan saya sebagai seorang muslim.
Pernyataan di dalam sebuah tulisan, termasuk buku, dapat berasal dari diri sendiri atau dari orang lain. Pemyataan orang lain mesti disebutkan sumberya; oleh karena itu peryataan yang tidak ada sumbemya dianggap oleh pembaca sebagai peryataan dari penulis. Peryataan orang lain dapat berbeda dengan sikap, watak dan pendapat penulis, tetapi peryataan penulis jelas menentukan sikap, watak dan pendapatnya. Peryataan-peryataan di dalam sebuah buku tidak lepas satu dengan yang lain. Rangkaiannya, sistematika penyajiannya, merupakan sebuah bangunan yang menentukan kadar ilrnu dan kualitas buku tersebut. Rangkaian dan sistematika pemyataan musti disusun menurut logika keilmuan yang dapat diterima dan dibenarkan oleh masyarakat ilmu.
Untuk mengenal atau menguraikan ajaran Syekh Siti Jenar, adalah logis kalau didahului dengan uraian tentang asal-usul yang empunya ajaran. Ini juga dilakukan oleh Dr Abdul Munir Mulkhan (Paragraf I Bab Satu, halaman 3-10). Di dalam paragraf tersebut diterangkan asal-usul Syekh Siti Jenar tidak jelas. Seperti telah diterangkan, karena tidak ada sumber obyektif maka Idsah asal-usul ini juga penuh dengan versi-versi. Di halaman 3, dengan mengutip penelitian Dalhar Sho(fiq untuk skripsi S-1 Fakultas Filsafat UGM, diterangkan bahwa Syekh Siti Jenar adalah putera seorang raja pendeta dari Cirebon bemama Resi bungsu. Nama asli Syekh Siti Jenar adalah Hasan Ali alias Abdul Jalil.
Kalau seseorang menulis buku, apalagi ada hubungannya dengan hasil penelitian, pembahasan secara ilmiah dengan menyandarkan pada logika amat penting. Tidak semua berita dikutip begitu saja tanpa analisis. Di dalam uraian tentang asal-usul Syekh Siti Jenar di halaman 3-10 ini jelas sekali penuh dengan kejanggalan, tanpa secuil analisis pun untuk memvalidasi berita tersebut. Kejanggalan-kejanggalan itu adalah:
1. Ayah Syekh Siti Jenar adalah seorang raja pendeta benama Resi Bungsu. Istilah raja pendeta ini kan tidak jelas. Apakah dia seorang raja, atau pendeta. Jadi beritanya saja sudah tidak jelas sehingga meragukan.
2. Di halaman 62, dengan mengutip sumber Serat Syekh Siti Jenar, diterangkan bahwa ayah Syekh Siti Jenar adalah seorang elite agama Hindu-Budha. Agama yang disebutkan ini juga tidak jelas. Agama Hindu tidak sama dengan agama Budha. Setelah Islam muncul menjadi agama mayoritas penduduk pulau Jawa, persepsi umum masyarakat memang mengangap agama Hindu dan Budha sama. Pada hal ajaran kedua agama itu sangat berbeda, dan antara keduanya pernah terjadi perseteruan akut selama berabad-abad. Runtuhnya Mataram Hindu pada abad ke-10 disebabkan oleh perseteruan akut tersebut. Runtuhnya Mataram Hindu berakibat sangat vatal bagi perkembangan Indonesia. Setelah itu kerajaan-kerajaan Jawa terus menerus terlibat dengan pertikaian yang membuat kemunduran. Kemajuan teknologi bangsa Jawa yang pada abad ke-10 sudah di atas Eropa, pada abad ke-20 ini jauh di bawahnya. Tidak hanya itu, bahkan selama beberapa abad Indonesia (termasuk Jawa) ada di bawah bayang-bayang bangsa Eropa.
3. Kalau ayah Syekh Siti Jenar beragama Hindu atau Budha, mengapa anaknya diberi nama Arab, Hasan Ali alias Abdul Jalil. Apalagi seorang raja pendeta yang hidup di era pergeseran mayoritas agama rakyat menuju agama Islam, tentu hal itu janggal terjadi.
4. Atas kesalahan yang dilakukan anaknya, sang ayah menyihir sang anak menjadi seekor cacing lalu dibuang ke sungai. Di sini tidak disebut apa kesalahan tersebut, sehinga sang ayah sampai tega menyihir anaknya menjadi cacing. Masuk akalkah seorang ayah yang raja pendeta menyihir anaknya menjadi cacing. Ilmu apakah yang dimiliki raja pendeta Resi Bungsu untuk merubah seseorang menjadi cacing? Kalau begitu, mengapa Resi Bungsu tidak menyihir para penyebar Islam yang pada waktu itu mendepak pengaruh dan ketenteraman batinnya? Ceritera seseorang mampu merubah orang menjadi binatang ceritera kuno yang mungkin tidak pemah ada orang yang melihat buktinya. Ini hanya terjadi di dunia pewayangan yang latar belakang agamanya Hindu (Mahabarata) dan Budha (Ramayana).
5. Cacing Hasan Ali yang dibuang di sungai di Cirebon tersebut, suatu ketika terbawa pada tanah yang digunakan untuk menembel perahu Sunan Mbonang yang bocor. Sunan Mbonang berada di atas perahu sedang mengajar ilmu gaib kepada Sunan Kalijogo. Betapa luar blasa kejanggalan pada kalimat tersebut. Sunan Mbonang tinggal di Tuban, sedang cacing Syekh Siti Jenar dibuang di sungai daerah Cirebon. Di tempat lain dikatakan bahwa Sunan Mbonang mengajar Sunan Kalijogo di perahu yang sedang terapung di sebuah rawa. Adakah orang menembel perahu bocor dengan tanah? Kalau tokh menggunakan tanah, tentu dipilih dan disortir tanah tersebut, termasuk tidak boleh katutan (memabawa) cacing.
6. Masih di halaman 4 diterangkan, suatu saat Hasan Ali dilarang Sunan Giri mengikuti pelajaran ilmu gaib kepada para muridnya. Tidak pemah diterangkan, bagaimana hubungan Hasan Ali dengan Sunan Giri yang tinggal di dekat Gresik. Karena tidak boleh, Hasan Ali lalu merubah dirinya menjadi seekor burung sehingga berhasil mendengarkan kuliah Sunan Giri tadi dan memperoleh ilmu gaib. Setelah itu Hasan Ali lalu mendirikan perguruan yang ajarannya dianggap sesat oleh para wali. Untuk apa Hasan Ali belajar ilmu gaib dari Sunan Giri, pada hal dia sudah mampu merubah dirinya menjadi seekor burung.
Al hasil, seperti dikatakan oleh Dr Abdul Munis Mulkhan sendiri dan banyak penulis yang lain, asal-usul Syekh Siti Jenar memang tidak jelas. Karena itu banyak pula orang yang meragukan, sebenarnya Syekh Siti Jenar itu parnah ada atau tidak . Pertanyaan ini akan saya jawab di belakang. Keraguan tersebut juga berkaitan dengan, di samping tempat lahimya, di mana sebenamya tempat tinggal Syekh Siti Jenar. Banyak penulis selalu menerangkan bahwa nama lain Syekh Siti Jenar adalah: Sitibrit, Lemahbang, Lemah Abang. Kebiasaan waktu, nama sering dikaitkan dengan tempat tinggal. Di mana letak Siti Jenar atau Lemah Abang itu sampai sekarang tidak pemah jelas; padahal tokoh terkenal Yang hidup pada jaman itu semuanya diketahui tempat tinggainya. Syekh Siti Jenar tidak meninggalkan satupun petilasan.
Karena keraguan dan ketidak-jelasan itu, saya setuju dengan pendapat bahwa Syekh Siti Jenar memang tidak pemah ada. Lalu apa sebenarnya Syekh Siti Jenar itu? Sekali lagi pertanyaan ini akan saya jawab di belakang nanti.
Kalau Syekh Siti Jenar tidak pernah ada, mengapa kita bertele-tele membicarakan ajarannya. Untuk apa kita berdiskusi tentang sesuatu Yang tidak pemah ada. Apalagi diskusi itu dalam rangka memperbandingkan dengan Al Qur”an dan Hadits Yang mana jelas asal-usulnya, mulia kandungannya, jauh ke depan jangkauannya, tinggi muatan ipteknya, sakral dan dihormati oleh masyarakat dunia. Sebaliknya, Syekh Siti Jenar hanya menjadi pembicaraan sangat terbatas di kalangan orang Jawa. Tetapi karena begitu sinis dan menusuk perasaan orang Islam Yang telah kaffah bertauhid, maka mau tidak mau lalu sebagian orang Islam harus melayaninya. Oleh karena itu sebagai orang Islam Yang tidak lagi ragu terhadap kebenaran Al Qur”an dan kerosulan Muhammad Shalallahu ”alaihi wasallam, saya akan berkali-kali mengajak saudara-saudaraku orang Islam untuk berhati-hati dan jangan terlalu banyak membuang waktu untuk mendiskusikan ceritera fiktif Yang berusaha untuk merusak akidah Islamiyah ini.
Artikel ini menarik sekali. Ini situsnya: http://religi.wordpress.com/2007/03/16/agama-langit-dan-agama-bumi/
AGAMA LANGIT DAN AGAMA BUMI
Ada berbagai cara menggolongkan agama-agama dunia. Ernst Trults seorang teolog Kristen menggolongkan agama-agama secara vertikal: pada lapisan paling bawah adalah agama-agama suku, pada lapisan kedua adalah agama hukum seperti agama Yahudi dan Islam; pada lapisan ketiga, paling atas adalah agama-agama pembebasan, yaitu Hindu, Buddha dan karena Ernst Trults adalah seorang Kristen, maka agama Kristen adalah puncak dari agama-agama pembebasan ini.
Ram Swarup, seorang intelektual Hindu dalam bukunya; “Hindu View of Christianity and Islam” menggolongkan agama menjadi agama-agama kenabian (Yahudi, Kristen dan Islam) dan agama-agama spiritualitas Yoga (Hindu dan Buddha) dan mengatakan bahwa agama-agama kenabian bersifat legal dan dogmatik dan dangkal secara spiritual, penuh klaim kebenaran dan yang membawa konflik sepanjang sejarah. Sebaliknya agama-agama Spiritualitas Yoga kaya dan dalam secara spiritualitas dan membawa kedamaian.
Ada yang menggolongkan agama-agama berdasarkan wilayah dimana agama-agama itu lahir, seperti agama Semitik atau rumpun Yahudi sekarang disebut juga Abrahamik (Yahudi, Kristen, dan Islam) dan agama-agama Timur (Hindu, Buddha, Jain, Sikh, Tao, Kong Hu Cu, Sinto).
Ada pula yang menggolongkan agama sebagai agama langit (Yahudi, Kristen, dan Islam) dan agama bumi (Hindu, Buddha, dll.) Penggolongan ini paling disukai oleh orang-orang Kristen dan Islam, karena secara implisit mengandung makna tinggi rendah, yang satu datang dari langit, agama wahyu, buatan Tuhan, yang lain lahir di bumi, buatan manusia. Penggolongan ini akan dibahas secara singkat di bawah ini.
Agama bumi dan agama langit.
Dr. H.M. Rasjidi, dalam bab Ketiga bukunya “Empat Kuliyah Agama Islam Untuk Perguruan tinggi” membagi agama-agama ke dalam dua kategori besar, yaitu agama-agama alamiah dan agama-agama samawi. Agama alamiah adalah agama budaya, agama buatan manusia. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah agama Hindu dan Budha. Mengenai agama Hindu Rasjidi mengutip seorang teolog Kristen, Dr. Harun Hadiwiyono, Rektor Sekolah Tinggi Theologia “Duta Wacana” di Yogyakarta sebagai berikut:
“Sebenarnya agama Hindu itu bukan agama dalam arti yang biasa. Agama Hindu sebenarnya adalah satu bidang keagamaan dan kebudayaan, yang meliputi jaman sejak kira-kira 1500 S.M hingga jaman sekarang. Dalam perjalanannya sepanjang abad-abad itu, agama Hindu berkembang sambil berobah dan terbagi-bagi, sehingga agama ini memiliki ciri yang bermacam-macam, yang oleh penganutnya kadang-kadang diutamakan, tetapi kadang-kadang tidak diindahkan sama sekali. Berhubung karena itu maka Govinda Das mengatakan bahwa agama Hindu itu sesungguhnya adalah satu proses antropologis, yang hanya karena nasib baik yang ironis saja diberi nama agama.” 1)
Samawi artinya langit. Agama samawi adalah agama yang berasal dari Tuhan (yang duduk di kursinya di langit ketujuh, Sky god, kata Gore Vidal). Yang termasuk dalam kelompok ini adalah agama Yahudi, Kristen, dan Islam. Dalam bab Keempat dengan judul “Agama Islam adalah Agama Samawi Terakhir” Rasjidi dengan jelas menunjukkan atau menempatkan Islam sebagai puncak dari agama langit. Hal ini dapat dipahami karena Rasjidi bukan saja seorang guru besar tentang Islam, tetapi juga seorang Muslim yang saleh.
Bahkan dengan doktrin mansukh, pembatalan, para teolog dan ahli fikih Islam mengklaim, Qur’an sebagai wahyu terakhir telah membatalkan kitab-kitab suci agama-agama sebelumnya (Torah dan Injil).
Bila Tuhan yang diyakini oleh ketiga agama bersaudara ini adalah satu dan sama, pandangan para teolog Islam adalah logis. Tetapi disini timbul pertanyaan, apakah Tuhan menulis bukunya seperti seorang mahasiswa menulis thesis? Sedikit demi sedikit sesuai dengan informasi yang dikumpulkannya, melalui percobaan dan kesalahan, perbaikan, penambahan pengurangan, buku itu disusun dan disempurnakan secara perlahan-lahan?
Tetapi ketiga agama ini tidak memuja Tuhan yang satu dan sama. Masing-masing Tuhan ketiga agama ini memiliki asal-usul yang berbeda dan karakter yang berbeda. Yahweh berasal dan ajudan dewa perang, yang kemungkinan berasal dari suku Midian, dan dijadikan satu-satunya Tuhan orang Israel oleh Musa. Jesus salah seorang dari Trinitas, adalah seorang pembaharu agama Yahudi yang diangkat menjadi Tuhan oleh para pendiri Kristen awal. Allah adalah dewa hujan yang setelah digabung dengan dewa-dewa lain orang Arab dijadikan satu-satunya tuhan orang Islam oleh Muhammad. Jadi Yahweh, Trinitas dan Allah adalah tuhan-tuhan yang dibuat manusia. 2) (Lihat Karen Amstrong: A History of God).
Dan karakter dari masing-masing Tuhan itu sangat berbeda. Ketiganya memang Tuhan pencemburu, tetapi tingkat cemburu mereka berbeda. Yahweh adalah Tuhan pencemburu keras, gampang marah, dan suka menghukumi pengikutnya dengan kejam, tetapi juga suka ikut berperang bersama pengikutnya melawan orang-orang lain, seperti orang Mesir, Philistin dan Canaan. Jesus juga Tuhan pencemburu, tapi berpribadi lembut, ia memiliki banyak rasa kasih, tetapi juga mempunyai neraka yang kejam bagi orang-orang yang tidak percaya padanya. Allah lebih dekat karakternya dengan Yahweh, tetapi bila Yahweh tidak memiliki neraka yang kejam, Allah memilikinya. Di samping itu, bila Yahweh menganggap orang-orang Yahudi sebagai bangsa pilihannya, Allah menganggap orang-orang Yahudi adalah musuh yang paling dibencinya.
Jadi jelaslah di langit-langit suci agama-agama rumpun Yahudi ini terdapat lima oknum Tuhan yang berbeda-beda, yaitu Yahweh, Trinitas (Roh Kudus, Allah Bapa dan Tuhan Anak atau Jesus) dan Allah Islam. Masing-masing dengan ribuan malaikat dan jinnya.
Pengakuan terhadap Tuhan yang berbeda-beda tampaknya bisa menyelesaikan masalah soal pembatalan kitab-kitab atau agama-agama sebelumnya oleh agama-agama kemudian atau agama terakhir. Masing-masing Tuhan ini memang menurunkan wahyu yang berbeda, yang hanya berlaku bagi para pengikutnya saja. Satu ajaran atau satu kitab suci tidak perlu membatalkan kitab suci yang lain.
Tetapi disini timbul masalah lagi. Bagaimana kedudukan bagian-bagian dari Perjanjian Lama yang diterima atau diambil oleh Perjanjian Baru? Bagaimana kedudukan bagian-bagian Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang terdapat di dalam Al-Qur’an? Apakah bagian-bagian itu dipinjam dari Tuhan yang satu oleh Tuhan yang lain, yang ada belakangan? Atau persamaan itu hanya kebetulan? Ataukah para penulis kitab-kitab yang belakangan meminjamnya dari penulis kitab-kitab terdahulu?
Pembagian agama menjadi agama bumi dan agama langit, dari sudut pandang Hindu sebenarnya tidak menjadi masalah. Ini terkait dengan konsep ketuhanan dari masing-masing agama. Agama-agama Abrahamik atau Rumpun Yahudi (nama yang lebih tepat daripada “agama langit”) memandang Tuhan sebagai sosok berpribadi, seperti manusia, yang berdiam di langit (ke tujuh) duduk di atas kursinya, yang dipikul oleh para malaikat. Dari kursinya di langit itu Dia melakukan segala urusan, termasuk antara lain, tetapi tidak terbatas pada, mengatur terbit dan tenggelannya matahari, “menurunkan” wahyu dan lain sebagainya. Dari segi ini benarlah sebutan “agama langit” itu, karena ajarannya diturunkan oleh Tuhannya yang bermukim nun jauh di langit.
Dalam pandangan agama Hindu, Tuhan bersifat panteistik, yang melingkupi ciptaan (imanen) dan sekaligus di luar ciptaannya (transenden). Menurut pandangan Hindu Tuhan tidak saja lebih besar dari ciptaannya, tetapi juga dekat dengan ciptaannya. Kalau Tuhan hanya ada di satu tempat di langit ketujuh, berarti Ia ada di satu noktah kecil di dalam ciptaannya. Oleh karena itu Dia tidak Mahabesar. Agak mirip dengan pengertian ini, di dalam agama Hindu, dikenal ajaran tentang Avatara, yaitu Tuhan yang menjelma menjadi mahluk, yang lahir dan hidup di bumi – seperti Rama dan Krishna – menyampaikan ajarannya di bumi langsung kepada manusia tanpa perantara.
Dari segi ini, dikotomi agama langit dan agama bumi tidak ada masalah. Baru menjadi masalah ketika “truth claim” yang menyertai dikotomi ini. Bahwa agama langit lebih tinggi kedudukannya dari agama bumi; karena agama-agama langit sepenuhnya merupakan bikinan Tuhan, yang tentu saja lebih mulia, lebih benar dari agama-agama bumi yang hanya buatan manusia dan bahwa oleh karenanya kebenaran dan keselamatan hanya ada pada mereka. Sedangkan agama-agama lain di luar mereka adalah palsu dan sesat.
Pandangan “supremasis” ini membawa serta sikap “triumpalis”, yaitu bahwa agama-agama yang memonopoli kebenaran Tuhan ini harus menjadikan setiap orang sebagai pengikutnya, menjadikan agamanya satu-satunya agama bagi seluruh umat manusia, dengan cara apapun. Di masa lalu “cara apapun” itu berarti kekerasan, perang, penaklukkan, penjarahan, pemerkosaan dan perbudakan atas nama agama.
Masalah wahyu
Apakah wahyu? Wahyu adalah kata-kata Tuhan yang disampaikan kepada umat manusia melalui perantara yang disebut nabi, rasul, prophet. Bagaimana proses penyampaian itu? Bisa disampaikan secara langsung, Tuhan langsung berbicara kepada para perantara itu, atau satu perantara lain, seorang malaikat menyampaikan kepada para nabi; atau melalui inspirasi kepada para penulis kitab suci. Demikian pendapat para pengikut agama-agama rumpun Yahudi.
Benarkah kitab-kitab agama Yahudi, Kristen dan Islam, sepenuhnya merupakan wahyu Tuhan? Bila benar bahwa kitab-kitab ini sepenuhnya wahyu Tuhan, karena Tuhan Maha Tahu dan Maha Sempurna, maka kitab-kitab ini sepenuhnya sempurna bebas dari kesalahan sekecil apapun. Tetapi Studi kritis terhadap kitab-kitab suci agama-agama Abrahamik menemukan berbagai kesalahan, baik mengenai fakta yang diungkapkan, yang kemudian disebut ilmu pengetahun maupun tata bahasa. Berikut adalah beberapa contoh.
Pertama, kesalahan mengenai fakta.
Kitab-suci kitab-suci agama ini, menyatakan bumi ini datar seperti tikar, dan tidak stabil. Supaya bumi tidak goyang atau pergi ke sana kemari, Tuhan memasang tujuh gunung sebagai pasak. Kenyataannya bumi ini bulat seperti bola. Dan sekalipun ada banyak gunung, lebih dari tujuh, bumi tetap saja bergoyang, karena gempat.
Kedua, kontradiksi-kontradiksi.
Banyak terdapat kontradiksi-kontradiksi intra maupun antar kitab suci-kitab suci agama-agama ini. Satu contoh tentang anak Abraham yang dikorbankan sebagai bukti ketaatannya kepada Tuhan (Yahweh atau Allah). Bible mengatakan yang hendak dikorbankan adalah Isak, anak Abraham dengan Sarah, istrinya yang sesama Yahudi. Sedangkan Qur’an mengatakan bukan Isak, tetapi Ismail, anak Ibrahamin dengan Hagar, budak Ibrahim yang asal Mesir
Contoh lain. Bible menganggap Jesus sebagai Tuhan (Putra), sedangkan Al-Qur’an menganggap Jesus (Isa) hanya sebagai nabi, dan bukan pula nabi terakhir yang menyempurnakan wahyu Tuhan.
Ketiga, kesalahan struktur kalimat atau tata bahasa.
Di dalam kitab-kitab suci ini terdapat doa-doa, kisah-kisah, berita-berita tentang kegiatan Tuhan, mirip seperti berita surat kabar, yang ditulis oleh seseorang (wartawan) atas seseorang yang lain (dari obyek berita, dalam hal ini Tuhan). Lalu ada kalimat yang merujuk Tuhan sebagai “Aku, Kami, Dia, atau nama-namanya sendiri, seperti Allah, Yahweh, dll”. Mengapa Tuhan menunjukkan diriNya dengan Dia, kata ganti ketiga? Kata-kata atau kalimat-kalimat pejoratif seperti Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Mengetahui ini pastilah dibuat oleh manusia, sebab mustahil rasanya Tuhan memuji-muji dirinya sendiri.
Keempat, ajaran tentang kekerasan dan kebencian.
Di dalam kitab-suci kitab-suci agama-agama langit ini banyak terdapat ajaran-ajaran tentang kebencian terhadap komunitas lain, baik karena kebangsaan maupun keyakinan. Di dalam Perjanjian Lama terdapat kebencian terhadap orang Mesir, Philistin, Canaan dll. Di dalam Perjanjian Baru terdapat ajaran kebencian terhadap orang Yahudi dan Roma. Di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat kebencian terhadap orang-orang Yahudi, Kristen dan pemeluk agama-agama lain yang dicap kafir secara sepihak. Pertanyaan atas soal ini, betulkah Tuhan menurunkan wahyu kebencian terhadap sekelompok orang yang memujanya dengan cara berbeda-beda, yang mungkin sama baiknya atau bahkan lebih baik secara spiritual? Bukankah akhirnya ajaran-ajaran kebencian ini menjadi sumber kekerasan sepanjang massa?
Bagaimana mungkin Tuhan yang Maha Bijaksana, Maha Pengasih dan Penyayang menurunkan wahyu kebencian dan kekerasan semacam itu? Di dalam agama Hindu kebencian dan kekerasan adalah sifat-sifat para raksasa, asura dan daitya (demon, devil, atau syaitan).
Di samping hal-hal tersebut di atas, agama-agama rumpun Yahudi banyak meminjam dogma dari agama-agama lain, bahkan dari komunitas yang mereka sebut penyembah berhala atau kafir. Dogma utama mereka tentang eskatologi seperti hari kiamat, kebangkitan tubuh dan pengadilan terakhir dipinjam oleh agama Yahudi dari agama Zoroaster Persia, lalu diteruskan kepada agama Kristen dan Islam. Legenda tentang penciptaan Adam dipinjam dari leganda tentang penciptaan Promotheus dalam agama Yunani kuno. Bagaimana mungkin tuhan agama langit meminjam ajaran dari agama-agama atau tradisi buatan manusia?
Swami Dayananda Saraswati (1824-1883), pendiri Arya Samaj, sebuah gerakan pembaruan Hindu, dalam bukunya Satyarth Prakash (Cahaya Kebenaran) membahas Al Kitab dan AI-Qur’an masing-masing di dalam bab XI II dan XIV, dan sampai kepada kesimpulan yang negatif mengenai kedua kitab suci ini. Bahwa kedua kitab suci ini mengandung hal-hal yang patut dikutuk karena mengajarkan kekerasan, ketahyulan dan kesalahan. Ia meningkatkan penderitaan ras manusia dengan membuat manusia menjadi binatang buas, dan mengganggu kedamaian dunia dengan mempropagandakan perang dan dengan menanam bibit perselisihan.
Apa yang dilakukan oleh Swami Dayananda Saraswati adalah kounter kritik terhadap agama lain atas penghinaan terhadap Hindu yang dilakukan sejak berabad-abad sebelumnya oleh para teolog dan penyebar agama lainnya.
Kesimpulan.
Tidak ada kriteria yang disepakati bersama di dalam penggolongan agama-agama. Setiap orang membuat kriterianya sendiri secara semena-mena untuk tujuan meninggikan agamanya dan merendahkan agama orang lain. Hal ini sangat kentara di dalam agama-agama missi yang agresif seperti Kristen dan Islam dimana segala sesuatu dimaksudkan sebagai senjata psikologis bagi upaya-upaya konversi dan proselitasi mereka.
Di samping itu tidak ada saksi dan bukti untuk memverifikasi dan memfalsifikasi apakah isi suatu kitab suci betul-betul wahyu dari Tuhan atau bukan? Yang dapat dikaji secara obyektif adalah isi atau ajaran yang dikandung kitab suci-kitab suci itu apakah ia sesuai dengan dan mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan, seperti cinta kasih, kesetiaan, ketabahan, rajin bekerja, kejujuran, kebaikan hati atau mengajarkan kebencian dan kekerasan?
Penggolongan agama-agama menjadi agama langit dan agama bumi, jelas menunjukkan sikap arogansi, sikap merendahkan pihak lain, dan bahkan sikap kebencian yang akhirnya menimbulkan kekerasan bagi pihak yang dipandangnya sesat, menjijikan dan tidak bernilai. Di lain pihak penggolongan ini menimbulkan rasa tersinggung, kemarahan, dan akhirnya kebencian. Bila kebencian bertemu kebencian, hasilnya adalah kekerasan.
Melihat berbagai cacat dari kitab suci-kitab suci mereka, khususnya ajarannya yang penuh kebencian dan kekerasan, maka isi kitab suci itu tidak datang dari Tuhan, tetapi dari manusia yang belum tercerahkan, apalagi Tuhan-Tuhan mereka adalah buatan manusia.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas disarankan agar dikotomi agama langit dan agama bumi ini tidak dipergunakan di dalam baik buku pelajaran, wacana keagamaan maupun ilmiah. Dianjurkan agar dipergunakan istilah yang lebih netral, yaitu agama Abrahamik dan agama Timur.
(Ngakan Putu Putra sebagaian bahan dari SATS ; “Semua Agama Tidak Sama” ).
Catatan kaki:
I). Prof . DR. H.M. Rasjidi : “Empat Kuliyah Agama Islam pada Perguruan Tinggi” penerbit Bulan Bintang, Jakarta, cetakan pertama, 1974. hal 10) H.M Rasjidi hal 53
2). Lihat Karen Amstrong : A History of God
3). Swami Dayananda Saraswati Satyarth Prakash (Light of Truth), hal 648.
4). Ibid hal 720.
Allah kenapa benci kepada orang yahudi?? bisa dejlaskan?
siti jener, saya percaya ada. baik sekedar ajaran mupun berrupa manusia. kalau toh hanya ajaran dan tidak wujud, maka saya setuju merupakan ajaran pendobrak tafsif quraan dan hadist yang selama ini hanya ditafsirkan oleh ulama utawa ustad2 yang hanya menafsirkan sesuai kepentingan pribadi atau golongannnya saja. jadilah kita ummat muslim yang terkukung oleh syariat, dan jadilah kita ummat islam sebagai ummat terbanyak namun bodohlah kebanyakan kita. walahu a’lam.
Semua agama itu kontekstual 🙂
mumet
sejarah yang tidak jelas asal usulnya,tdk prlu dpercaya&diyakini……..mari kita belajar sejarah yg pasti melalui AL QURAN&HADIS soheh yg tdk ada keraguannya…………..
Tanpa berpihak pada suatu agama apapun bahwa sebenarnya manusia tidak berhak mengklaim kebenaran karena kebenaran mutlak hanya milik Tuhan pencipta alam semesta.
Alam semesta dan seisinya adalah kitab suci yang diturunkan Tuhan kepada umat manusia, sekarang tergantung bagaimana kita sebagai manusia mampu atau tidak mencerna isyarat/pertanda/sasmita alam yang jelas-jelas ditujukan kepada manusia.
babagan dalat!
empaning raga iku… mangan ngombe…
empaning sukma iku… anggatekke’
empaning rasa iku… ikhlas…
empaning nyawa iku… iman…
ayo… mangan-mangan…
sangking mbah saleh
Selamat membaca.
@ mulyanto,
AL’QURAN & HADIS menyebabkan umat berjiwa kekanak-kanakan. Umat muslim mangatakan: “Agamaku paling benar.”. Sama saja seperti anak-anak yang membilang: “Mainanku paling bagus.”. Ini jelas sekali sikap “ignorance” dan lugu.
Bagamaimana negara Indonesia bisa maju kalau sebagian besar penduduknya tetap “ignorant” dan lugu seperti ini?
Bismillahirrahmanirrahim rahmatan lil alamin
hiasi napas dan langkah dengan dzikir(ya Rahman ya Rahiim dan pikir (apa yang kamu temui adalah Dzat-Nya)
ojo koyo nguyahi banyu segoro yo..
Dari Abū Gosok, Nabi Hilir berkata,
“Shalat itu diputuskan dengan ketidakkhusyukan dan hati yang tidak tenang sehingga masih tergoda dengan apa yang melintas didepannya.” Abū Gosok bertanya, “Ya Rasulullah, apa bedanya antara anjing hitam dan merah?” Nabi H menjawab, “Anjing hitam adalah yang berkulit hitam dan tetap saja anjing.” [Riwayat JiMuslim]
Kebenaran. Tak ada yang bisa membuktikan kebenaran agama/keyakinannya selama kita masih ada di dunia. Yang percaya adanya kehidupan sesudah kematian, reinkarnasi, surga dan neraka, apakah anda bisa membuktikannya sekarang? Kalau begitu tunjukanlah! Tunjukan secara real, secara visual!
Itu cuma salah satu nya. Masih banyak hal-hal yang tidak bisa buktikan di dunia. Satu contoh lagi. Jika anda mengaku punya akal, maka tunjukan lah seperti apa bentuknya? Apa jika kita tidak bisa menunjukannya, apa berarti kita tidak punya akal? Apa berarti akal itu tidak ada?
Yang ada keyakinan, keyakinan yang seyakin2nya, keyakinan yang mendekati kebenaran.
Jadi buat apa diperdebatkan?
Jalani saja keyakinan masing-masing dengan sebaik-sebaiknya. Tidak perlu mengkafirkan, mengusik, dan mengganggu satu sama lain.
Tuan Mourad yang saya hormati,
Jika anda menganggap orang muslim kekanak-kanakan karena sering mengatakan “mainan saya yang paling bagus”. Apakah anda tidak sama kekanak-kanakan (atau malah lebih) dengan mengatakan “mainan kamu jelek!”
Ada 2 kemungkinan anda berkata begitu; pertama, anda iri hati karena “mainan” yang anda punya lebih jelek. Atau yang kedua anda tidak punya “mainan” sama sekali.
Kasian..
akal keblinger
hati2 lah
keyakinan hati iman takwa di obok2
dekat murtad kafir
sareat lakuning raga
tarekat lakuning ati
hakekat lakuning nyawa
makrifat lakuning rahsa
kebenaran milik manusia hanyalah sepotong dari kebenaran mutlak milik Tuhan kalau manusia tidak bisa menjangkau kebenaran mutlak maka perdebatan mengenai kebenaran tidak akan ada habisnya karena kita mengakui hanya kebenaran versi kita yang paling benar karena tidak mau melihat kebenaran milik orang lain seperti melihat angka 6 dan 9 masing masing hanya melihat sepotong dari kebenaran yang diyakini maka jadilah orang yang arif dalam memandang kebenaran karena kebenaran mutlak hanya milik Tuhan semesta alam jadi kebenaran jangan diperdebatkan karena hanya akan membuat pertengkaran yang tidak ada habisnya
salam damai
deva pratama
Emang kita tau apa soal agama,tuhan,dewa dan lain sebaginya. Kalo mo tau yang sebenarnya mati dulu terus bicara sendiri sama tuhan tanyai agama siapa yang paling bener terus suruh tuhan ngidupin lagi baru cerita. kita di dunia ini tidak tau apa2. yang kita tau semua agama itu baik (ambil baik2nya saja) jadi jalani agama kalian masing masing. Jangan saling melecehkan. Tuhan saja tidak pernah ribut soal agama malah dia diem terus. lihat tu di bali padahal sudah di bom 2x sama orang islam(ngakunya sih). ga ada yang dendam kan? malah hindu sama islam di sana akur2 aj.
dan saya orang sinting bertanya mengapa tuhan buat manusia dan segalanya?
hapus korupsi. dimulai dari diri sendiri dulu.
yuk…main badminton, yuuk !
rek rek rek TEKO… TEKO… TEKO…
Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada? Apakah
kejahatan itu ada? Apakah
Tuhan menciptakan kejahatan? Seorang Profesor dari
sebuah universitas
terkenal menantang mahasiswa-mahasiswanya dengan
pertanyaan ini, “Apakah
Tuhan menciptakan segala yang ada?”.
Seorang mahasiswa dengan berani menjawab, “Betul,
Dia yang menciptakan
semuanya”. “Tuhan menciptakan semuanya?” Tanya
professor sekali lagi. “Ya,
Pak, semuanya” kata mahasiswa tersebut.
Profesor itu menjawab, “Jika Tuhan menciptakan
segalanya, berarti Tuhan
menciptakan Kejahatan. Karena kejahatan itu ada, dan
menurut prinsip kita
bahwa pekerjaan kita menjelaskan siapa kita, jadi
kita bisa berasumsi bahwa
Tuhan itu adalah kejahatan.”
Mahasiswa itu terdiam dan tidak bisa menjawab
hipotesis professor tersebut.
Profesor itu merasa menang dan menyombongkan diri
bahwa sekali lagi dia
telah membuktikan kalau agama itu adalah sebuah
mitos.
Mahasiswa lain mengangkat tangan dan berkata,
Profesor, boleh saya bertanya sesuatu?”
“Tentu saja,” jawab si Profesor
Mahasiswa itu berdiri dan bertanya, “Profesor,
apakah dingin itu ada?”
“Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja dingin itu
ada. Kamu tidak pernah
sakit flu?” Tanya si professor diiringi tawa
mahasiswa lainnya.
Mahasiswa itu menjawab, “Kenyataannya, Pak, dingin
itu tidak ada. Menurut
hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah
ketiadaan panas. Suhu -460F
adalah ketiadaan panas sama sekali. Dan semua
partikel menjadi diam dan
tidak bisa bereaksi pada suhu tersebut. Kita
menciptakan kata dingin untuk
mendeskripsikan ketiadaan panas.
Mahasiswa itu melanjutkan, “Profesor, apakah gelap
itu ada?”
Profesor itu menjawab, “Tentu saja itu ada.”
Mahasiswa itu menjawab, “Sekali lagi anda salah,
Pak. Gelap itu juga tidak
ada. Gelap adalah keadaan dimana tidak ada cahaya.
Cahaya bisa kita
pelajari, gelap tidak. Kita bisa menggunakan prisma
Newton untuk memecahkan
cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari
berbagai panjang gelombang
setiap warna. Tapi Anda tidak bisa mengukur gelap.
Seberapa gelap suatu
ruangan diukur dengan berapa intensitas cahaya di
ruangan tersebut.Kata
gelap dipakai manusia untuk mendeskripsikan
ketiadaan cahaya.”
Akhirnya mahasiswa itu bertanya, “Profesor, apakah
kejahatan itu ada?”
Dengan bimbang professor itu menjawab, “Tentu saja,
seperti yang telah
kukatakan sebelumnya. Kita melihat setiap hari di
Koran dan TV. Banyak
perkara kriminal dan kekerasan di antara
manusia. Perkara-perkara tersebut adalah
manifestasi dari kejahatan.”
Terhadap pernyataan ini mahasiswa itu menjawab,
“Sekali lagi Anda salah,
Pak. Kajahatan itu tidak ada. Kejahatan adalah
ketiadaan Tuhan. Seperti
dingin atau gelap, kejahatan adalah kata yang
dipakai manusia untuk
mendeskripsikan ketiadaan Tuhan. Tuhan tidak
menciptakan kajahatan.
Kejahatan adalah hasil dari tidak adanya kasih Tuhan
dihati manusia. Seperti
dingin yang timbul dari ketiadaan panas dan gelap
yang timbul dari ketiadaan
cahaya.”
Profesor itu terdiam.
(Nama mahasiswa itu adalah Albert Einstein)
mari kita belajar membedakan antara akal dan nurani, antara yang buruk dan yang baik. misal jika kita memebandingkan sisi gelap suatu ajaran jangan kita bandingkan dengan sisi yang terang satu diantaranya, jelas ini tidak adil. sesungguhnya inti dalam agama adalah “1. ada yang menciptakan dari yg diciptakan, 2. adanya ahir dari dunia manusia yang sombong ini.”
Namun dari dua hal tersebut diatas semakin tidak jelas tatkala ada sebagian manusia yg tidak menginginkan hal tersebut (bagai mana kalau kita sebut Ateis) jika saja tidak ada setan (atau hal semacam itu) mungkin Alloh tidak akan menurunkan wah yu kepada banyak Rosul,.
Agama bukan dogma, namun agama adalah jalan hidup mengenal sang maha agung, yang akan memeberikan keadilan seadil adilnya atas semua perbuatan mahkluk ciptanya. (bagi kita yang merasakan bahwa kita hidup diciptakan, bukan kerena prosess evolusi).